Kasus Penyakit Tuberkulosis di Banjarmasin Naik

hallobanua.com, BANJARMASIN - Tak hanya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), rupanya penyakit Tuberkulosis atau TB, kini kasusnya ikut meningkat di Kota Banjarmasin.

Setidaknya tercatat ada 23 pasien TB yang dirawat inap di Rumah Sakit Sultan Suriansyah per hari Rabu (24/1/2024) kemarin.

Menurut Direktur Rumah Sakit Sultan Suriansyah, Muhammad Syaukani, jumlah ini merupakan jumlah maksimal untuk rawat inap di sana.

"Karena bed yang tersedia untuk pasien TBC yakni 23, jadi sudah full untuk pasien TBC. Karena harus ruangan khusus untuk perawatannya. Kami menyebutnya ruang isolasi," jelasnya kepada hallobanua.com belum lama tadi.

Jika ada pasien TB ada yang masuk lagi, maka pilihannya hanya dua, yakni menunggu di IGD atau dipindahkan ke rumah sakit lain. 

Dijelaskannya, pasien TB tidak boleh dipindahkan ke ruangan lain. Sehingga ruangannya harus khusus.

"Karena, penyakit yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis ini sangat menular, yaitu melalui droplet," tuturnya.

Disebutkan Syaukani jika saat Pandemi Covid-19, kasus TB di Kota Seribu sungai tidaklah tinggi. Namun, angkanya meningkat justru disaat pandemi Covid-19 usai. Hal iti terjadi lantaran masyarakat banyak takut berobat dan khawatir diduga covid-19.

"Makanya mereka enggan berobat. Justru sekarang ini setelah pandemi covid semakin meningkat," ujarnya.

Dari informasi dihimpun, untuk Januari ini saja, total kasus TB di Banjarmasin ada 71 orang. Sedangkan Desember 2023 lalu ada 58 orang. 

Adapun penyakit TB yang sampai ke rumah sakit  biasanya dengan kasus yang berat. Sebab, jika kasusnya ringan hanya ditangani di puskesmas. 

"Kalau sampai ke rumah sakit biasanya memang perlu penanganan. Kalau hanya ringan di puskesmas juga bisa memberikan pengobatan. Normalnya enam bulan pengobatan secara rutin. Sedangkan jika penyakitnya belum sembuh bisa ditambah tiga bulan menjadi sembilan bulan," pungkasnya. 

Kota Banjarmasin ini tinggi TB jelasnnya karena merupakan daerah endemik TB. Mengingat secara geografis udaranya lembab, ditambah sanitasi yang kurang bagus. 

"Sebagian besar penderita merupakan pasien yang tinggal di pemukiman padat penduduk. Kemudian, sanitasi yang kurang. Ditambah pencahayaan rumah yang minim. Idealnya rumah dengan pencahayaan bagus, maka bakterinya akan mati," pungkasnya.

Penulis : rian akhmad
Kota bjm
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar

Hallobanua

Follow Instagram Kami Juga Ya